Rabu, 18 Februari 2009

ULAMA SEJATI


































Oleh: Arief B. Iskandar









Ulama adalah pewaris para nabi (al-'Ulama warasah al-anbiya'). Demikian sabda Nabi saw. Tentu bukan sekadar mewarisi ilmu para nabi, tetapi juga mewarisi keteladanan mereka dalam seluruh ucapan dan tindakan mereka. Keteladanan para nabi yang paling menonjol tentu saja adalah sepak-terjang mereka
—baik dalam hal keberanian, keteguhan, ketegaran, kesabaran, maupun keistiqmahan mereka— dalam menyampaikan risalah Islam atau dalam berdakwah.

Para ulama, sebagaimana halnya para nabi, sejatinya tidak pernah takut terhadap risiko apapun yang datangnya dari manusia dalam berdakwah menyampaikan kebenaran. Mereka hanya takut kepada Allah. Inilah justru karakteristik ulama yang paling menonjol. (Lihat: QS Fathir [35]: 28).


Tentu, ini pula yang sangat dipahami oleh salah seorang ulama salaf terkemuka, Syaikh al-Islam ibn Taimiyah. Beliau adalah ulama yang dikenal mumpuni sekaligus dikenal karena keberanian dan keteguhannya dalam menyampaikan kebenaran, membela agama, menghidupkan Sunnah Rasul saw., dan menyerang bid'ah; meskipun untuk itu ia harus dikucilkan dan dipenjara oleh penguasa. 


Ibn Taimiyah yang lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dan Eufrat, pada tahun 661 H, sejak kecil sudah kelihatan kecerdasannya. Di samping cerdas, sejak dini beliau menginfakkan seluruh waktunya untuk belajar secara sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu kepada para ulama terkemuka saat itu. Wajar jika belum genap umur tujuh belas tahun beliau sudah siap mengajar dan berfatwa. Kemudian beliau menjadi tokoh fukaha dan bahkan mendapatkan gelar Syaikh al-lslam. Sebab, penguasaan Ibnu Taimiyah dalam berbagai disiplin ilmu—seperti bahasa Arab, ushuluddin, ulumul Quran, ulumul hadits, tafsir, fikih, ushul fikih, dll—sangat sempurna hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Lebih dari 300 judul buku bermutu dari berbagai disiplin ilmu lahir dari tangannya. (Lihat: Sayr A'lam an-Nubala' hlm. 290. Lihat juga: Ma'rifah al-Qura al-Kibar, 260).


"Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya yang terbaik dalam hal ilmu, kezuhudan, keberanian. kemurahan, amar makruf nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun," demikian komentar Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) tentang Ibn Taimiyah. (M. Mahdi al-Istanbuli. Ibn Taimiyah, Bathal al-Islah ad-Dini. 1977, cet. II. Damaskus: Maktabah Dar al-Ma'rifah).


Sejarah telah mencatat, Ibnu Taimiyah juga adalah seorang da'i yang tabah, teguh, wara', zuhud, dan ahli ibadah. Sikap demikian tampak, misalnya, ketika beliau berhadapan dengan Qazhan, Raja Tatar, yang kemudian masuk Islam, dan dipanggil Mahmud.
Syaikh Umar Ibn Abi Bakar al-Balisi, salah seorang anggota utusan penguasa Tatar, menuturkan bahwa dalam majelis Qazhan suatu ketika pernah dihidangkan makanan. Mereka lalu memakan makanan itu, kecuali Ibn Taimiyah. Dia kemudian ditanya, "Anda tidak makan? Ibn Taimiyah menjawab, "Bagaimana mungkin saya memakan makanan kalian, sementara semuanya berasal dari harta kaum Muslim yang kalian rampas, dan kalian pun memasak makanan dengan kayu-kayu bakar yang berasal dari pohon-pohon mereka yang kalian tebang?!"


Diriwayatkan pula, Qazhan pernah meminta Ibn Taimiyah untuk mendoakannya. LaluI Ibn Taimiyah pun berdoa, "Ya Allah, jika hamba-Mu ini, Mahmud, berperang semata-mata demi meninggikan kalimat (agama)-Mu dan agar (kemenangan) agama ini hanya milik Allah maka tolonglah dia, kuatkanlah dia, dan jadikanlah dia penguasa negeri ini dan rakyatnya. Akan tetapi. jika dia berperang karena riya dan sum'ah, demi meraih dunia, atau untuk merendahkan Islam dan kaum Muslim maka hancurkanlah dia. guncangkanlah dia, dan musnahkanlah dia."


Setelah itu, Qadhi Qudhat Najmuddin bin Shishri dan yang lainnya berkata kepada Ibn Taimiyah, "(Dengan doa itu), hampir saja engkau mencelakakan kami dan dirimu. Demi Allah, sejak sekarang, kami tidak ingin menyertaimu lagi."


Ibn Taimiyah balik menjawab, "Demi Allah, saya pun tidak ingin menyertai kalian lagi." (Al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV/89).


Pada masa Sultan al-Malik an-Nashir, pernah akan diberlakukan kebijakan agar para ahli dzimmah (kafir dzimmi) wajib membayar jizyah kepada negara sebanyak 600.000 dinar setiap tahun sebagai tambahan atas jizyah yang berlaku saat itu. Ibn Taimiyah lalu menentang keras kebijakan itu hingga akhirnya kebijakan itu gagal dilaksanakan. (As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 578).


Lebih dari itu, Ibn Taimiyah adalah juga seorang ulama mujahid pemberani yang ahli berkuda, yang tidak pernah takut mati. Beliau adalah pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman musuh dengan pedangnya. Imam Muhammad bin al-Hadi menuturkan bagaimana keberanian Ibn Taimiyah bertempur dalam Perang Syaqhab yang terkenal.


Ibn Taimiyah beberapa kali dipenjara, disiksa, bahkan diusir oleh penguasa. Semua itu adalah 'buah' dari ketegaran, keberanian, dan kelantangan beliau dalam mengajak pada al-haqq, yang akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian sebagian penguasa, ulama, dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Akan tetapi, semua itu beliau hadapi dengan tabah dan tenang. Dalam syairnya yang terkenal beliau bahkan bertutur: Keterpenjaraanku adalah khalwat/ kematianku adalah kesyahidan/Keterusiranku adalah tamasya."


Beliau juga pernah berkata dalam penjara, "Orang yang dipenjara ialah yang terpenjara hatinya dari Tuhannya. Orang yang tertahan ialah yang ditahan oleh hawa nafsunya."


Karena itu, meski di penjara, pikiran beliau tetap jernih; beliau tetap berdakwah dan bahkan semakin produktif menulis buku dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau. Mereka diajari agar senantiasa berpegang teguh pada syariat Allah; selalu beristigfar, bertasbih, dan berdoa kepada-Nya; serta senantiasa melakukan amalan-amalan salih. Berkat kewibawaan beliau, suasana penjara menjadi ramai dengan aktivitas ibadah kepada Allah. Yang menakjubkan, banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas ingin tetap tinggal di penjara bersamanya untuk menjadi muridnya.


Beliau akhirnya wafat 20 Dzulhijjah 728 H di dalam penjara setelah tinggal selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari.


Ya Allah, bangkitkanlah kembali di tengah-tengah kami, ulama-ulama pewaris nabi, seperti Ibn Taimiyah, ulama sejati. Amin..

0 komentar:

Posting Komentar