Oleh: Arief B. Iskandar
Allah Swt. berfirman (yang artinya): Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan surga untuk mereka. (QS at-Taubah [9]: 111).
Ayat ini turun kepada Rasulullah saw. pada saat baiat Aqabah II. Saat itu 70 orang Anshar berkumpul di sekitar Rasul. Abdullah bin Rawahah ketika itu berkata kepada beliau, "Silakan engkau meminta syarat apa saja untuk Tuhanmu dan dirimu."
Nabi saw. lalu bersabda, "Untuk Tuhanku, aku meminta syarat agar kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Untuk diriku. aku meminta syarat agar kalian menjaga diriku sebagaimana kalian menjaga diri dan harta kalian."
Orang-orang Anshar bertanya, "Jika kami melakukannya, apa balasannya?"
Rasul menjawab, "Surga..
Mendengar itu, mereka berkata, "Sungguh, ini adalah perniagaan yang sangat menguntungkan! Kami tidak akan tingga! diam dan membatalkan jual-beli ini."
Kemudian turunlah ayat di atas. (Ath-Thabari, 1405: XI/36).
Dari ayat di atas, setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik, Pertama:
Sesungguhnya Allah Swt. telah membeli diri dan harta seorang Mukmin dengan surga. Berapa harga surga? Tentu tidak akan sebanding dengan dunia dan seisinya. Sebab, kata Allah, luas surga itu adalah seluas langit dan bumi (QS. Ali Imran [3]: 133). Adalah Umar bin al-Hammam, ketika diberitahu oleh Nabi saw. tentang betapa luasnya surga, ia—yang sedang makan kurma—segera membuang sisa kurma yang ada padanya sambil berkata, "Hidup terasa lama kalau aku harus menghabiskan kurma ini." Kemudian, ia pun segera berlari menuju medan jihad fi sabilillah hingga terbunuh sebagai syahid. (HR Muslim).
Kedua: Betapa luasnya kasih-sayang Allah kepada hamba-Nya yang Mukmin. Bayangkan, diri dan harta kita adalah milik Allah, bukan milik kita. Namun, Allah ternyata mau membeli "milik"-Nya sendiri yang Dia titipkan pada kita. Padahal, seandainya Allah meminta diri dan harta kita tanpa imbalan sepeser pun, sejatinya kita pun merelakannya, karena diri dan harta kita adalah milik-Nya. Karena itu, betapa tidak tahu dirinya kita, jika kita tidak mau menyerahkan diri dan harta kita—yang sejatinya bukan milik kita itu—kepada Allah Swt. yang telah Dia beli dengan bayaran surga yang tidak ternilai harganya.
Ada baiknya kita meneladani seorang Arab Badwi, ketika dia melewati Nabi saw., sementara beliau sedang membaca QS at-Taubah ayat 111 di atas. Orang itu bertanya, "Ucapan siapa itu?"
Nabi saw. menjawab, "Kalamullah (ucapan Allah)."
Lelaki itu berkata, "Betapa menguntungkan jual-beli dengan Allah! Aku tidak akan tinggal diam dan tidak akan membatalkan perniagaan ini."
Segera setelah itu, ia pun pergi ke medan perang, menjual dirinya kepada Allah. la pun terbunuh; ia sukses menukar dirinya dengan surga yang telah dijanjikan-Nya. (Al-Qurthubi, 1372: VIM/287).
Berkaitan dengan ayat ini, seorang Mukmin selayaknya menyadari bahwa ia tak lebih dari seorang "budak", dengan Allah Swt. sebagai Tuan"-nya, karena Allah telah membeli dirinya. Seorang budak, sebagaimana kata Imam Ja'far ash-Shadiq, sejatinya harus: (l)Tunduk, patuh, dan tidak membantah tuannya pada saat tuannya memerintahkan apapun kepada dirinya. (2) Menyadari bahwa semua yang ada pada dirinya—bahkan termasuk tubuhnya sekalipun—adalah bukan miliknya, tetapi milik tuannya. Artinya, seorang budak itu jangankan pakaiannya, tempat tidurnya, alat-alat makannya, tenaganya, waktunya, pikirannya, bahkan tubuhnya pun milik tuannya; ia harus rela menyerahkan semua itu kepada tuannya sebagai pemiliknya.
Ketundukan dan kesadaran inilah yang ditunjukkan Abu Bakar ash-Shiddiq yang menginfakkan seluruh hartanya ketika Allah dan Rasul-Nya meminta sebagian—hanya sebagian—hartanya untuk keperluan jihad fi sabilillah. Itulah juga yang ditunjukkan oleh Utsman bin Affan ketika ia mendanai—dari kantong pribadinya— 10.000 pasukan Perang Tabuk dengan membelikan masing-masing kendaraan, perbekalan, dan senjata lengkap. Itulah pula yang ditunjukkan oleh Mushab bin Umair—seorang pemuda tampan, kaya, terhormat, dan menjadi idola gadis-gadis Qurays—ketika ia memberikan semua yang dimilikinya itu untuk dakwah Islam, sementara ia sendiri dalam kesehariannya, selama hidupnya, rela hanya memakai pakaian dengan banyak tambalan; bahkan tak punya cukup kain kafan saat ia wafat.
Lalu bagaimana dengan kita, khususnya para pengemban dakwah? Adakah sesuatu yang sudah kita jual kepada Allah demi meraih surga-Nya? Sudahkan kita menyerahkan sebagian besar waktu, harta, tenaga, pikiran, dan semua hal yang ada pada diri kita kepada Allah yang telah membelinya dari kita? Sudahkah kita menjual semua itu di jalan dakwah, sebelum kita menjual diri kita di medan jihad fi sabilillah?
Lebih dari itu, seorang penjual yang baik tentu akan memilihkan barang dagangan yang terbaik kualitasnya jika dia tahu bahwa barang tersebut akan dibeli oleh orang yang sangat terhormat—katakanlah seorang presiden, misalnya; apalagi jika sang presiden itu menawarnya dengan harga yang sangat tinggi. la bahkan akan menyerahkan barang yang terbaik kualitasnya itu dengan penuh sukarela dan kebanggaan, bahkan jikapun ia tidak dibayar.
Sejatinya, kita yang sudah dibeli oleh Allah, Zat Yang Mahamulia, dengan bayaran surga, tentu akan melakukan hal yang sama; bahkan lebih dari itu. Sebab, pembeli kita adalah Allah, Pemilik dan Penguasa alam ini, dan bayaran yang akan kita terima adalah surga—sebuah bayaran terbaik, yang tidak ada yang lebih baik, bahkan jika dibandingkan dengan dunia dan seisinya. Karena itu, ketika Allah telah membeli diri kita, sejatinya kita menyerahkan kepada-Nya sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, dan harta kita di jalan-Nya; bukan waktu, tenaga, pikiran, dan harta sisa kita. Bukankah itu pula yang dilakukan oleh Abu Bakar, Utsman, dan Mush'ab bin Umair di atas?
Terakhir, sebuah pertanyaan tampaknya layak diajukan: Layakkah kita menahan dan menunda-nunda untuk menyerahkan harta. waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan diri kita kepada Allah yang sudah membelinya dengan bayaran surga yang luasnya seluas langit dan bumi? Bukankah surga yang selama ini kita idam-idamkan?
Ya Allah, ampunilah kami atas kebodohan kami, yang tidak mau menyerahkan jiwa-raga kami kepada-Mu. padahal Engkau telah membelinya dari kami dengan bayaran surga-Mu, yang luasnya seluas langit dan bumi. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar